A. Pengertian
Pada dasarnya, istilah ushul fiqih mempunyai dua makna terminologis, yaitu terminology ahli fiqih (at – ta’ rif al idafi) dan terminology ahli ushul (at – ta’ rif al – laqabi). Ta’rif idafi ushul fikih artinya dalil – dalil fikih atau sumber – sumber fikih. Adapun at – ta’rif al – laqabi ushul fiqih artinya kaidah – kaidah yang menjadi sarana istinbat hokum syar’I dari sumber – sumber hokum yang terperinci.
Kata Ushul Fiqih sendiri terdiri dari kata Ushul dan Fiqih yang secara terpisah antara kedua kata ini mempunyai makna tersendiri. Kata ushul merupakan jama’ dari kata Ashl yang berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. Atas dasar ini, ushul fiqih dipandang sebagai sandaran bagi fiqih dan sebagai alat untuk melahirkkan fiqih.
Secara istilah, kata ashl mempunyai beberapa arti, yaitu :
Al-kaidah al kulliyah (kaidah umum), yakni suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku untuk seluruh cakupannya. Misalnya, ketentuan tentang kehraman bangkai bagi setiap muslim dengan berlandaskan pada firman Allah surat Al-baqarah ayat 173, yang artinya :
“Sesunguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disemeblih disebut nama selain Allah”.
Dalil (landasan hukum), seperti ungkapan para ahli ushul fiqih bahwa ashlu li wujub al-sholat al-kitabu wa al-sunnah (dalil wajib sholat adalah Al-quran dan Sunnah). Rajih (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih, yaitu : “Yang dipandang kuat dari suatu ungkapan adalah makna hakikat”
Mushtaslah, yaitu memberlakukan hokum yang ada sejak semula selama belum ada dalil yang membatalkan atau merubahnya. Al-maqis atau furu’ (cabang) seperti tindakan para ulama mengqiyaskan terjadinya riba pada beras dan gandum.
Ad-dalil (alasan). Contohnya, asal (dalil) larangan riba adalah firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 130. inilah yang dimaksud dengan makna idafi dari dua kata usul dan al-faqih.
Dari kelima pengertian terminologis diatas, yang paling sesuai dengan definisi ushul fiqih menurut fuqoha adalah arti yang terakhir, yaitu (sumber – sumber hukum) fikih dalam pengertian global.
Adapun term al-fiqh yang diderivasikan dari Faqiha – Yafqohu – fiqhan. Menurut Ibnu Manzhur dalam lisan al – arab adalah :
Fiqih adalah pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu .
Menurut Abu Ishaq asy – Syairazi, fiqih artinya :
Fiqih secara bahasa adalah memahami (mengatahui) sesuatu yang bersifat samara)
Ilmu fiqih berbicara tentang hokum syara jadi, selain cabang ilmu ini tidak dapat disebut ilmu fiqh. Demikian pula, ilmu ushul fiqih tidak dapat disebut ilmu fiqih, karena ilmu ushul fiqih bersifat ilmiah dan tidak praktis seperti halnya ilmu fiqih.
Hukum syara’ tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat praktis dan konkret. Dengan demikian, perbuatan manusia yang abstrak tidak termasuk kajian fiqih. Hal inilah yang dimaksud dengan wilayah ijtihad manusia, yaitu perbuatan manusia yang konkret. Adapun perbuatan yang abstrak, menjadi otoritas Allah SWT.
Ilmu fiqih diperoleh dengan cara yang ijtihad atau istidlal, yaitu mencurahkan segala potensi untuk mencapai kesimpulan hukum yang diderivatifkan dari sumber pokoknya. Sumber – sumber hukum tersebut sudah terperinci menurut cabangnya masing – masing baik yang bersifat qath-I maupun Zani.
Adapun Ushul Fiqih menurut terminology ushuliyun (ahli ushul) seperti Abu al – husaini Al basri (w . 436 H). Adalah penyelidikan kritis terhadap metode – metode fikih dan cara penggunaannya dalam argumentasi hukum.
Menurut Al-ghazali dalam al-mustafa min Ilm al usul, Usul fiqih adalah :
Dalil – dalil hukum dan pengetahuan tentang cara – cara penunjukan dalil terhadap hukum tersebut secara global dan bukan secara terperinci. Defenisi serupa juga diungkapkan oleh al-amidi dalam kitabnya, al-ihkam fi usul al-ahkam :
Ushul fikih adalah dalil – dalil (sumber – sumber) fikih, bentuk – bentuk penunjukkannya kepada hukum – hukum syara dan metode berargumentasi dengan dalil – dalil tersebut secara global dan tidak secara terperinci.
B. Tujuan ilmu Ushul Fiqih.
Telah dimaklumi bahwa ushul fiqih merupakan kumpulan kaidah – kaidah istinbat hukum yang secara operasional menjadi acuan bagi mujtahid atau fiqoha dalam mengeluarkan hukum dari sumber – sumbernya. Ushul fiqih ini memiliki tujuan sebagai berikut.
- Mengetahui nash – nash syariat dan hukum – hukum yang dikandungnya.
- Mengartikulasikan dan mengklasifikasikan dalil – dalil zanni dan qat’i
- Mengetahui teori - teori tarjih dalam masalah ta’arud antara dalil dan syar’i
- Mengetahui cara metode istinbat hukum ssecara teoritis dan praktis dengan menggunakan metode – metode seperti qiyas, istihsan, istishlah, ishtishab, urf, dan zariah.
- Memahami kerangka epistemologi dan metodologi hukum (fikih) yang digunakan para fuqoha (mujtahid).
- Dapat menilai pendapat fuqoha yang paling unggul dalam satu masalah yang bertentangan.
C. Objek Kajian Ilmu Ushul Fiqih.
Objek suatu ilmu adalah segala sesuatu yang secara substantif nampak dan inheren dalam disiplin ilmu yang dikaji. Dengan demikian, objek ilmu ushul fikih adalah segaala aspek yang terkandung dalam dissiplin ilmu fikih. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan titik tekan (stressing) terhadap objek ilmu ushul fikih. Misalnya, al- Amidi lebih menekankan pada aspek dalil, macam-macam, tingkatan, dan cara pengeluaran hukum darinya. Menurut Abu Zahrah, objek ilmu ushul adalah keterangan yang menjelaaskan tentang metode istinbat hukum. Namun demikian, semua pendapat bermuara pada objek kajian yang sama, yaitu dalil-dalil (sumber-sumber) hukum, macam-macam, tingkatan, dan metode pengeluaran hukum darinya.
Al-Ghazali membagi ilmu ushul fikih menjadi empat objek utama dengan analogi sebuah pohon yang terdiri atas unsur-unsur berikut: buah (as-samrah), pohon (al-musmir), cara menana dan mengetam (turuq al-istismar), dan orang yang menanam (al-mustasmir).
1. yang dimaksud dengan buah (as-samraah) dalam ilmu ushul fikih adalah hasil kegiatan ijtihad atau istinbat hukum.
Fukaha usuliyyun memberikan definisi yang berbeda tentang hukum. Menurut ahli ushul, hukum adalah perintah asy-Syari’ (Pembuat Hukum, Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun ketetapan. Adapun menurut fukaha, hukum adalah dampak atau akibat yang dikehendaki asy-syari’ dalam perintah dan larangan-Nya, seperti wajib, sunah, haram, mubah, dan makruh. Contohnya adalah firman Allah: Aufu bi al-uqud. Menurut ahli ushul fikih, hukum dalam firman tersebut adalah tuntutan untuk memenuhi kewajiban. Adapun menurut hukum fukaha adalah kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Menurut ulama ushul fikih, hukum secara global dibagii menjadi dua, yaitu al-hukum at-taklifi dan hukum al-wad’i. Perbedaan anttara keduanya adalah (1) hukum taklifi terdiri atas wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah, sedangkan hukum wad’i terrdiri atas sebab, syarat, penghalang, keringanan, sah, dan batal; (2) jika dalam hukum taklifi terdapat tuntutan satu arah, maka dalam hukum wad’i tidak terdapat tuntutan, mmelainkan ada keterikatan antara dua hal sebagai hubungan sebab-akibat; (3) hukum taklifi adalah hukum utama yang dituntut secara langsung, sedangkan hukum wad’i hanya menjadi hukum pendukung yang tidak dituntut secar langsung; (4) hukum taklifi menjadi tuntutan sesuai dengan kemampuan mukalaf, sedangkann hukum wad’i adakalanya mampu dikerjakan mukalaf dan adakalanya tidak; dan (5) subjek hukum taklifi adalah mukalaf, sedangkan subjek hukum wad’i adalah semua manusia.
Terkait dengan pembahasan al-Hakim, para ulama sepakat bahwa al-Hakim yang sesungguhnya adalah Allah. Hanya saja, mereka berbeda pendapat mengenai ketentuan untuk mengetaahui hukum-Nya. Ada tiga pendapat mengenai hal tersebut: (1) Asy’ariyah, pengikut Abu al-Hasan al—Asy’ari (w. 324 H) berpendapat bahwa baik dan buruk yang menjadi hukum harus ditetapkan oleh syariat; (2) Muktazilah, pengikut Wasil bin Atha’ (w. 131 H), berpendapat bahwa baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sementara syariat hanya sebagai penguat saja; dan (3) Maturidiyah, pengikut Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 333 H), berpendapat bahwa baik-buruk memang dapat diketahui dengan akal, tetapi baik dan bruk yang menjadi hukum harus diketahui melalui ketetapan syariat.
2. yang dimaksud pohon (al-musmir), adalah sumber-sumber (dalil-dalil) hukum yang berkaitan dengan macam-macam, tingkatan, definisi dan hakikatnya, nilai otentisitas dan otooritasnya. Abdullah Wahab Khallaf membagi sumber-sumber hukum menjadi dua kelompok, yaitu: (1) sumber-sumber hukum yang disepakati, yaitu Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qiyas, dan (2) sumber-sumber hukum yang diperselisihkan, yaitu istihsan, masalih, istislah, zari’ah, urf, istishab, mazhab sahabi, syar’u man qablana.
3. Yang dimaksud dengan Turuq al- istismar adalah metode istinbat (mengeluarkan) hukum dari sumber-sumber aslinya. Dalam kajian ini, ada tiga metode pokok, yaitu metode lugawi (linguistik), ta’lili (kausasi), dan istislahi (teleologis). Metode lugawi adalah metode istinbat hukum dengan menggumnakan kaidah-kaidah bahasa, sedangkan metode ta’lili adalah metode istinbat hukum dengan menerapkan teori qiyas dan istihsan. Adapun metode istislahi adaalah metode istinbat dengan menerapkan teori mashlahah mursalah.
4. yang dimaksud dengan al-musmir adalah mujtahid, yaitu orang yang mempunyai otoritas untuk melakukan ijtihad atau al-faqih.
D. Al-Qawa’id al Usuliyyah dan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
Ada dua istilah yang identik dengan al-qawa’id al-fiqhiyyah, yaitu, ad-dawabit al-fiqhiyyah, dan an-nazariyyah al fiqhiyyah al-ammah. Ad-dawabit al-fiqhiyyah adalah kumpulaan kaidah yang terbatas padda satu bab (tema) tertenttu dari sekian tema fikih yang ada. Ruang lingkup ad-dawabit al-fiqhiyyah lebih sempit dibandingkan al-qawa’id al-fiqhiyyah. Adapun an-nazariyyah al-fiqhiyyah al-ammah adalah teori fikih yang berupaya memadukan antara fikih dan hukum positif dalam bentuk sistematka yang baru, seperti dalam nazariyyah al-milkiyyah, nazariyyah al-‘aqd, dann nazariyyah al-fiqhiyyah al-ammah memiliki cakupan yang terbatas, maka keduanya tidak dapat dikategorikan sebagai al-qawa’id al-kulliyyah atau al-qawa’id al-fiqhiyyah.
Al-qawa’id al-fiqhiyyah berbeda dengan al-qawa’id al-usuliyyah. Meskipun keduanya memiliki peran dan tujuan yang sama, yaitu sebagai metode ijtihad untk mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Demikian pendapat syihab ad-Din al-Qarafi (w. 684 H), orang yang pertama kkali membedakan kedua kaidah tersebut. Menurutnya ushul terbagi menjadi dua, yaitu usul fiqh dan al-qawa’id al-fiqhiyyah al-kulliyyah. Secara umum, usul fiqih mengkaji kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal, seperti kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunjukkan kewajiban, larangan menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa menerima nasakkh. Adapun al-qawa’id al-fiqhiyyah al-kulliyyah adalah kaidah-kaidah yang mencakup berbagai rahasia hukum syara’ dan hikmahnya, sera cabang-cabang hukum yang tk terhingga. Dalam ushul fikih, kaidah-kaidah tersebut hanya dijelaskan secara global.
Secara terperinci, perbedaan antara al-qawa’id al-fiqhiyyah dan al-qawa’id al-usuliyyah adalah sebagai berikut:
1. Al-qawa’id al-usuliyyah adalah sekumpulan peraturan (qanun) yang harus dipergunakan oleh para ahli fikih agar terpelihara dari kesalahan dalam beristinbat. Adapun al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah sekumpulan kaidah yang menghimpun berbagai masalah yang sama. Kaidah yang terakhir ini merupakan hasil pengumpulan dari beberapa masalah yang serupa atau hukum-hukum juz’iyyah. Biasanya, kaidah ini oleh ulama fikih disebut dengan al-asybah wa an-naza’ir.
2. Al-qawa’id al-usuliyyah merupakan dalil-dalil umum, sedangkan al-qawa;id al-fiqhiyyah merupakan hukum-hukum umum.
3. jika dihubungkan dengan fikih, maka al-qawa’id al-usuliyyah merupakan parameter bagi istinbat yang benar. Posisinya seperti ilmu nahwu dalam brcakap-cakap dan menulis kalimat. Al-qawa’id al-usuliyyah merupakan jembatan penghubung antara hukum dengan sumbernya, yang obyek pembahasannya adalah dalil dan hukum. Adapun al-qawa’’id al-fiqhiyyah merupakan kaidah universal (kulliyyah) yang unsur-unsur (juz’i)nya terdiri atas beberapa masalah fikih dan obyek pembahasannya adalah perbuatan orang mukalaf.
4. Al-qawa’id al-usuliyyah adalah kaidah-kaidah kulliyyah yang dapat diaplikasikan kepada seluruh unsur (juz’i) dan objek pembahasannya, tanpa terkecuali. Adapun al-qawa’idd al-fiqhiyyah merupakan kaidah aglabiyyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan kepada sebagian besar juz’i-nya. Sebab, dalam kaidah ini ada wilayah pengecualian (mustasnayat)nya.
5. al-qawa’id al-usuliyyah merupakan sarana untuk mengeluarkan hukum syara’ yang praktis, sementara al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah kumpulan hukum serupa (al-mutasyabih lah) yang memiliki ‘illat yang sama.
6. Al-qawa’id al-usuliyyah muncul sebelum furu’ (cabang), sedangkan al-qawa’id al-fiqhiyyah muncul setelah furu’ (cabang).
7. objek kajian al-qawa’id al-usuliyyah adalah dalil-dalil hukum dan segala aspeknya, sedangkan objek kajian al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah perbuatan mukalaf yang ditetapkan dalam hukum syara’.
8. secara umum, al-qawa’id al-usuliyyah muncul lebih dahulu daripada al-qawa’id al-fiqhiyyah. Sebab, objek utama kajian al-qawa’id al-usuliyyah adalah sumber-sumber hukum dan istidlal yang sudah dimulai sejak zaman Nabi.
Di samping perbedaan-perbedaan tersebut, al-qawa’id al-fiqhiyyah memiliki beberapa keistimewaan yang tidak terdapat dalam al-qawa’id al-usuliyyah, yaitu:
1. Al-qawa’id al-fiqhiyyah menghimpun berbagai masalah yang sama dan menjadi parameter dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang berada dalam ruang lingkupnya.
2. Al-qawa’id al-fiqhiyyah dapat menunjukkan hukum-hukum yang memiliki ‘illat yang sama.
3. sebagian besar al-qawa’id al-usuliyyah tidak menhkaji hikmah tasyri’ dan tujuannya, tetapi menkaji cara pengeluaran hukum dari lafal-lafal syar’i. Adapun al-qawa’id al-fiqhiyyah berupaya menkaji tujuan dari mengeluarkan hukum tersebut, baik secara umum maupun khusu, di samping sebagai parameter dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan hikmahnya.
Pendek kata, perbedaan antara al-qawa’id al-fiqhiyyah dan al-qaw’id al-usuliyyah adalah jika al-qawa’id al-usuliyyah merupakan pedoman beristinbat yang harus dipegangi oleh seorang ahli fikih agar terpelihara dari kesalahan, maka al-qawa’id al-fiqhiyyah merupakan juklak operasionalisasi dari al-qawa’id al-usuliyyah.
Sejarah Ilmu Ushul Fiqih
Periode pertumbuhan
Mayoritas ulama suni, terutama syafi iyah bersepakat bahwa ushul fiqih baru lahir pada awal abad III H, yaitu setelah Imam Syafi’i menyusun kitab ushul pertama yang berjudul Ar risalah. Tetapi, ushul fiqih sebagai sebuah metode istinbat hukum sudah muncul sejak zaman Nabi SAW sendiri, maupun para sahabatnya, terutama ketika beliau menghadapi masalah hukum yang belum ada ketetapannya dari Allah SWT.
Abd. Jalil Isa menyatakan bahwa kegiatan ijtihad Nabi SAW telah menjadi kenyataan historis. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah surah an-Najmu (53): 3, yang artinya, dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-quran) menurut keinginannya. Menurutnya, ayat ini bermakna bahwa segala ucapan Nabi ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dengan demikian, alasan yang menyebutkan bahwa Nabi juga berijtihad dapat diterima.
Abd. Jalil Isa menambahkan bahwa Nabi adalah sosok manusia biasa, sebagaimana ditegaskan dalam Al-quran surah Al-kahf (18): 111; Fussilat (41): 6; dan Ibrahim (14): 10 -11. Karenanya, wajar apabila Nabi pernah salah dalam hal berijtihad. Namun, Ibn Taymiyah dan mayoritas Ulama Salaf meyakini bahwa beliau adalah sosok yang maksum (terpelihara dari dosa) dalam berita yang disampaikannya.
Periode Perkembangan (Abad III – IV)
Pada masa berikutnya, para ulama merespons kitab Ar-risalah dengan cara yang bermacam – macam. Pertama, hanya menjelaskan metode intinbat yang dilakukan Imam Syafi’i. Kedua, menjelaskan kaidah – kaidah atau dasar – dasar istinbat yang telah dirumuskan Imam Syafi’i. Ketiga, mengambil sebagian besar patokan Imam Syafi’i, tetapi berbeda pendiriannya dan menyertakan beberapa dasar dari kaidah tambahan.
Cara yang paling terakhir adalah cara yang paling populer dikalangan fukaha, seperti kalangan Hanafiyyah yang menambahkan Istihsan dan Urf, sehingga sumber hukum mereka terkenal pengklasifikasiannya kedalam dua kelompok dalil, yaitu (1) Ijtihad dengan nash yang bersumber kepada Al-quran, sunnah, dan pendapat para sahabat, dan (2) Ijtihad tanpa nash yang bersumber kepada Ijmak, qiyas, istihsan, dan Urf.
Adapun ulama malikiyah menambahkan dalil menjadi delappan sumber, yaitu Al-quran, sunnah, tradisi penduduk madinah, fatwa sahabat, qiyas, istislah, istihsan, dan sadd az-zariah. Sementara ulama hanbilah menyandarkan kepada dalil – dalil Al-quran, sunnah, ijmak, qiyas, istislah, istihsan, sadd azzariah, dan istishab.
Berbeda dengan ulama Syiah Imamiyah, mereka membagi dalil menjadi dua kelompok, yaitu dalil ijtihadi dan dalil faqahi. Dalil – dalil ijtihadi terdiri atas Al-quran, sunnah, ijmak, dan rasio, sedangkan dalil – dalil faqahi terdiri atas istishab, bara’ah, ihtiyat, dan takhyir. Adapun Syiah Zaidiyah berdalil kepada Al-quran, sunnah, ijmak, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, istislah, dan rasio. Meskipun secara umum Ushul Syiah Imamiyah sama dengan ushul Mutakallimun (Syafi iyah, Malikiyah, dan Hanabillah), yaitu merumuskan kaidah – kaidah ushul yang terlepas dari pengaruh furu’ (cabang) namun terdapat beberappa perbedaan yang sangat prinsipil terutama dalam konsep sunnahnya.
Menurut Mutakallimun (Sunni), Sunnah adalah sunnah Rasulullah SAW, dan para sahabatnya. Adapun menurut syiah Imamiyah, sunnah adalah sunnah Nabi dan Imam yang maksum. Secara umum, syiah tidak mengakui Imam Syafi’i sebagai perintis ilmu ushul fiqih. Menurutnya, perintis ilmu ushul fiqih adalah para imam yang maksum terdahulu, yaitu Imam Muhammad Al-baqir (Imam ke 5, w 731 M) dan putranya Imam ja’far ash-shadiq (Imam 6, w. 765 M)
Jika berbicara tentang ushul secara teoritis, parsial, dan belum dikodifikasi secara lengkap dan belum menjadi sebuah kitab, maka klaim itu dapat diterima. Sebab, secara historis kedua Imam tersebut adalah pendahulu Imam Syafi’i. Tetapi, jika yang demikian itu diterima, maka dapat ditarik kesimpulan kepada sejarah sebelumnya, justru Nabi lah yang pertama kali merintis ilmu Ushul Fiqih secara teoritis, meskipun belum dibukukan, karena beliaulah orang yang pertama kali melakukan ijtihad.
Periode Penyempurnaan (Abad V – VI H)
Didepan telah disebutkan bahwa memasuki abad V H, Ushul fikih menjadi karakter masing – masing mahzab yang pada akhirnya melahirkan dua aliran besar dalam metode perumusan ushul, yaitu aliran fikaha (hanfiyah) dan aliran mutakallimun (Syafi iyah). Ahli ushul aliran hanafiyah yang pertama kali adalah Abu Bakr asy – syarahasyi (w 490 H). Dengan karyanya Usul asy – syarahasyi, dan Abu Al – husain al baidawi (w. 482 H) dengan karyanya Usul Al baidawi.
Adapun ahli ushul aliran asy – syafi iyah yang pertama kali adalah Imam al-haramain al-juwaini (w.478 H) dengan karyanya al-burhan, al-Ghazali (w. 505 H) murid al-haramain, dengan karyanya al – mustasfa min ilm al – ushul. Kedua ulama ini adalah ahli Kalamyang berafiliasi dalam aliran Syafi iyah. Meskipun mereka telah banyak mengakomodir teori filsafat Yunani seperti mantik dan teori – teori ushul Ulama nonSyafi’i, termasuk teori maslahat. Meskipun Asy – Syafii menolak teori maslahat, tetapi Al-Ghazali menerimanya.
Otentisitas (Keaslian) Ilmu Ushul Fikih
Ushul fikih merupakan metode berpikir yang dengannya para mujtahid (fukaha) dapat terbebas dari kekeliruan dalam berijtihad atau beristinbat. Karenanya, dalam ushul fikih terdapat uraian-uraian tentang cara berpikir logis dan aturanyya yang sistematis dan filosofis. Tetapi kemudian timbul pertanyaan, apakah kaidah-kaidah usuliyyah yang merupakan kumpulan logika dan filsafat hukum Islam adalah murni produk pemikiran ulama klasik dan tengah atau ada unsur-unsur luar yang mempengaruhinya, seperti ilmu logika (mantik0 Yunani? Sebab, benih-benih ushul muncul pada masa tabiin dan tabiit (abad I-II H), sebagai permulaan dimulainya aktivitas ilmiah berupa transfer ilmu filsafat Yunani, Persia, dan India, terutama melalui kegiatan penerjemahan buku-buku asing. Aktivitas ilmiah ini mencapai puncaknya pada masa asy-Syafii sebagai founding father ilmu ushul. Ar-Risalah sendiri, di samping sebagai kitab ushul juga merupakan produk pemikiran filsafat.
Sejak abad I H umat Islam sudah mengenal ilmu mantik (logika) dan filsafat secara umum. Hal ini ditandai dengan adanya transformasi filsafat Yunani ke negara Islam melalui kegiatan penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Kegiatan ini dimulai pada masa Khalifah Yazid Ibn Mu’awiyyah dinasti Umayyah. Kegiatan ilmiah ini terus berlanjut sampai pada masa dinasti Abbasiyah. Dalam sejarahnya, filsafat Yunani telah mempengaruhi teologi skolastik (kalam) dan sufisme doktrinal.
Tetapi, beredarnya filsafat pada masa asy-Syafii tidak secara otomatis mempengaruhi pola pikirnya secara totalitas, karena ia dikenal sebagai ulama yang sangat mengunggulkan nash dan membatasi metode istinbat dengan rasio, kecuali hanya sampai pada metode qiyas. Asy-Syafii sendiri dapat berbahasa Yunani dan menguasai ilmu berdebat (mantik). Hal itu dibuktikan ketika ia ditanya oleh Khalifah harun ar-Rasyid dengan menggunakan bahasa Yunani mengenai ilmu kedokteran, ternyata ia sangat mahir menjawabnya dalam bahasa Yunani. Namun, ia meskipun enggan menyusun kitab tentang ilmu ini, karena merasa bukan wilayahnya.
Jadi, tidak dapat divonis begitu saja bahwa asy-Syafii dalam merumuskan kaidah-kaidah usuliyyah-nya telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalaupun pengaruh itu ada, tetapi sulit diukur. Sebab, teori-teotinya yang dibangun seperti qiyas, istihsan, takhsis, nasikh dan mansukh, mafhum, dan mutlaq yang dianggap mirip dengan logika Yunani, benih-benihnya sudah ada sejak zaman Nabi dan sahabat.
Menurut Ali Sami’, pengaruh filsafat Yunani ke dalam ilmu ushul baru nampak setelah para ahli kalam (Mutakallimun), seperti al-Juwaini (w. 478 H) mulai meramaikan wacana filsafat dalam karya-karya ushulnya, yaitu dengan menggunakan metode berpikir teoritis dan sistematis. Menurutnya lagi, al-Juwaini-lah yang pertama kali memasukkan pengaruh mantik dalam ushul, meski sangat terbatas. Hal ini diperkuat dengan isi kitabnya yang menyebutkan al-hadd, al-burhan, an-nazari, dan istilah-istilah lain yang mirip dengan ilmu logika.
Jika al-Juwaini dikenal sebagai ahli ushul yang pertama kali memasukkan filsafat dalam ushul, meskipun belum tegas, maka al-Ghazali, muridnya, adalah ahli ushul yang secara terang-terangan memosisikan ilmu mantik sebagai disiplin ilmu yang sangat penting dalam kerangka kajian ushul. Al-Ghazali, dalam karya ushulnya, al-Mustafa menegaskan, ”Barangsiapa yang tidak menguasai mantik Aristotelles, maka ilmunya tidak dapat dijamin kebenarannya.” karena itu, menurutnya, mengetahui mantik merupakan salah satu syarat ijtihad dan hukumnya adalah fardhu kifayah bagi umat Islam.
Pada tahap selanjutnya, al-Mustasfa dan al-Mankhul-nya al-Ghazali menjadi referensi primer di kalangan Mutakllimun, terutama yang bermazhab asy-Syafii, meskipun pada masanya banyak menuai kritik dari kubu Hanafiyyah (fukaha). Santernya kritik dari Hanfiyyah ini dapat dimaklumi, karena filsafat secara umum masuk melalui jalur Mutakallimin Asy-ariyyah dan Mu’tazilah.
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa ilmu ushul telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Pada masa Nabi, sahabat, dan tabiin, pengaruh itu dipastikan belum masuk, karena ransformasi filsafat ke Islam belum dimulai. Adapun pada masa tabiit tabiin, pengaruh itu dimungkinkan sudah masuk, meskipun masih dalam skala kecil.
Ar-Risalah karya asy-Syafii juga diduga mengadopsi filsafat Yunani, karena benih-benih kaidah usuliyyah-nya secara teoritis sudah dimulai sejak masa Nabi. Minimal, mantik telah ikut mempengaruhi pembentukan metode berpikir asy-Syafii. Pengaruh itu semakin jelas ketika memasuki abad V dan VI H, yaitu ketika ushul mulai banyak dibicarakan para ahli kalam, seperti al-Juwaini dan al-Ghazali.
Metode-metode dalam Perumusan Kitab Ushul Fikih
Pasca ar-Risalah, para ulama menempuh tiga metode dalam merumuskan kaidah-kaidah usuliyyah, yaitu:
1. Metode Mutakallimin (Syafiiyyah)
Metode kalam banyak dikembangkan oleh para pengikut asy-Syafii. Mereka meneliti dan merumuskan kaidah berdasarkan kekuatan argumentasi, logika dan dalil naqli, dan tidak terpengaruh oleh furu’ (fikih) produk imamnya. Mereka lebih mendasarkan diri pada logika dan dalil naqli. Oleh karena itu, tujuan penulisan kitab-kitab ushul aliran ini adalah supaya menjadi acuan standar dalam istinbat, bukan membela fikih imamnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah ulama Mu’tazilah, Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambaliyyah. Meskipun pada masa asy-Syafii kelompok Mu’tazilah dikenal sebagai posisi, namun dalam babak selanjutnya, mereka banyak mengadopsi ushul asy-Syafii.
Metode yang mereka gunakan disebut dengan metode mutakllimun, karena yang pertama kali merintis adalah para ulama kalam, seperti Abu al-Husain Muhammad Ibn Ali al-Basri al-Mu’tazili asy-Syafii (w. 463 H) dengan kitabnya al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn abd Allah al-Juwaini (w. 478 H) dengan karyanya al-Mustasfa min ’Ilm al-Ushul.
Dalam babak selanjutnya, ketiga kitab di atas diringkas oleh Fakhr ad-Din Muhammad Ibn Umar ar-Razi (w. 606 H) dalam karyanya al-Mahsul fi Ushul al-Ahkam. Karena kitab al-Mahsul ini dinilai memiliki cakupan yang sangat luas, maka ia diringkas oleh Tajj ad-Din Muhammad Ibn al-Hasan al Armawi (w. 606 H) dalam karyanya al-Hasil, dan Mahmud Ibn Abi Bakr al-Mu’in (w. 682 H) dalam karyanya at-Tahsil. Kitab al-Hasil tersebut kemudian dijadikan referensi utama oleh al-Qadi Abdullah Ibn Umar al-Baidawi (w. 685 H) dalam karyanya Minhaj al-Wushul ila ’Ilm al-Ushul. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Abdurrahim Ibn Hasan al-Isnawi asy-Syafii (w. 772 H).
Adapun kitab al-Ihkam karya al-Amidi juga diringkas oleh Ibn al-Hajib al-Maliki (w. 646 H) dalam karyanya Muntaha as-Su’al wa al-’Amal fi ’Ilm al-Ushul wa al-Jadal. Kemudian kitab ini diringkas lagi oleh Ibn al-Hajib dalam Mukhtasar al-Muntaha dengan sistematika kitab al-Minhaj al-Wushul. Adapun kitab syarah al-Ihkam yang paling bagus adalah Syarah Ajmil karya Adud ad-Din Abd ar-Rahman Ibn Ahmad al-Abaji (w. 706 H).
2. Metode Fukaha (Hanafiyyah)
Adapun metode fukaha (Hanafiyyah) dalam merumuskan ushulnya masih dipengaruhi oleh fikih imamnya. Bahkan, dalam hal tertentu tampak seperti membela fikih imamnya. Berbeda dengan metode mutakallimun yang mampu melahirkan kaidah-kaidah yang dapat dikembangkan ke dalam masalah furu’. Pendekatan seperti ini banyak memberikan peluan kepada para ulama untuk melahirkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal sebelumnya. Menurut Abu Zahrah, perbedaan mendasar antara metode mutakallimun dan fukaha terletak pada peran kaidah-kaidah ushul ulama mazhabnya. Kaidah-kaidah yang dibangun oleh asy-Syafii adalah kaidah-kaidah umum yang dapat dikembangkan ke dalam masalah furu’. Adapun mengenai metode fukaha Hanafiyyah, mereka menjadikan fikih imam mazhabnya sebagai acuan dalam merumuskan kaidah-kaidah ushulnya. (Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh).
Pelestari metode Fukaha (Hanafiyyah) terdahulu adalah Abu Bakr Ahmad Ibn Ali yang dikenal al-Jassas (w. 370 H), Abu Zaid Ubaid Allah Ibn Umar al-Qadi ad-Dabusi (w. 430 H) dengan karyanya al-Ushul wa al-Furu’ dan Ta’sisi an-Nazar, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 482/1089 M) dengan karyanya Kanz al-Wushul ila Ma’rifah al-Ushul, Abu Bakr asy-Syarahasi (w. 490/1096 M) dengan karyanya Ushul asy-Syarahasi dan Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Muhammad an-Nasafi (w. 710 H) dengan karyanya Manar al-Anwar fi Ushul al-Fiqh. Kemudian Ushul al-Bazdawi tersebut diberi syarah oleh Ala ad-Din Abd al-Aziz Ibn Ahmad al-Bukhari (w. 730 H).
3. Metode Gabungan (Konvergensi)
Adapun metode gabungan (konvergensi) adalah metode yang mengombinasikan antara kedua pendekatan di depan. Metode konvergensi ini sering dikenal dengan sebutan tariqah al-jam’an. Karakter ulama pengikut metode ini terkadang tampak rasionalis dan kadang tradisionalis. Tokoh-tokoh ini adalah Muzaffar ad-Din Ahmad Ibn Ali as-Sa’ati al Bagdadi al-Hanafi (w. 694 H) dalam karyanya Abdi’an- Nizam yang merupakan hasil kombinasi antara kitab al-Bazdawi karya Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Tokoh lainnya adalah Ubaid Allah Ibn Mas’ud al-Bukhari al-Hanafi (w. 747 H) dengan karyanya Tanqih al-Ushul, yang kemudian diberi syarah sendiri dengan judul at-Taudih fi Hill Gawamid Tanqih. Kitab ini merupakan kumpulan ringkasan dari kitab al-Bazdawi karya Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi, al-Mahsul karya ar-Razi, dan Mukhtasar karya Ibn al-Hajib.
Meskipun pad abad-abad klasik dan tengah, ilmu ushul mengalami perkembangan yang gemilang dan menghasilkan banyak kitab ushul dengan metode dan coraknya masing-masing, tetapi hal itu masih terikat dengan tradisi metode berpikir bayani, yaitu pemahaman yang masih terikat dengan kaidah-kaidah bahasa, sehingga tidak dapat keluar dari kerangkeng penalaran tersebut. Misalnya, konsep mashlahat Najm ad-Din at-Tufi al-Hanbali yang disebut paling liberal sepanjang sejarah. Dalam konsep mashlahatnya, ia masih membatasi diri pada dalil-dalil yang qat’i dan pada wilayah ’ubudiyyah yang sebenarnya tidak boleh disentuh oleh penalaran dalil maslahat.
Oleh karena itu, disiplin ilmu ushul fikih pada abad modern ini dikritisi lagi oleh para ulama kontemporer, termasuk para out siders Barat. Wacana tersebut sudah mencapai tingkat ”rekonstruksi” ilmu ushul dengan berbagai kerangka teoritik dan metodologisnya, meskipun kadang masih dalam topik-topik yang parsial, seperti teori limitasinya Muhammad Syahrur dan konsep nashk-nya Mahmud Muhammad Taha.