Seorang produsen yang muslim tidak boleh menganggap cukup hanya karena produksinya halal, tapi dia harus mencermati bahwa sarana dan cara produksinya juga mubah; sebagaimana dia juga harus menjauhi aktivitas produksi yang berdampak buruk terhadap masyarakat, meskipun pada dasarnya mubah.
Sesungguhnya prinsip akhlak mengharuskan keterikatan seorang produsen muslim dengan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk yang membahayakan disebabkan proses produksi, sepeti kebohongan, kecurangan, merugikan orang lain, dan lain-lain.
Sedangkan kajian-kajian ekonomi konvensional tidak memperhatikan korelasi akhlak dan ekonomi. Nampaknya, bahwa diantara sebab terpenting ketertelanjangan ekonomi dari prinsip akhlak adalah pandangan eropa dalam memisahkan agama-yang merupakan sumber akhlak- dari segala bidang kehidupan (sekularisme), termasuk dalam bidang ekonomi. Sebab mereka beranggapan bahwa ilmu ekonomi tidak akan tegak selama belum berpisah sepenuhnya dari nilai-nilai akhlak.
Karena semakin besarnya keburukan dan mudharat akibat pemisahan elemen-elemen akhlak dan social dari kehidupan perekonomian, maka muncullah suara-suara di barat yang menyerukan pentingnya factor-faktor (etika) tersebut dan mengaitkannya dengan elemen-elemen ekonomi. Padahal masalah yang masih dalam perdebatan dalam ekonomi konvensional ini adalah suatu yang sudah pasti dalam Islam sejak empat belas abad yang silam. Dimana masalah iini merupakan aksiomatik yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan akhlak merupakan asas bagi setiap hukum, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya.
Seseunguhnya Umar Radiyallahu anhu sangat memperhatikan korelasi antara kegiatan ekonomi dan akhlak mulia. Bahkan menjadikannya sebagai bukti kebenaran agama pelakunya. Sebagaimana Umar juga mengantisipasi dan mencegah terjadinya akhlak buruk yang sering menyertai kegiatan ekonomi. Berikut beberapa atsar yang menunjukkan hal tersebut:
- Telah dimaklumi bahwa islam mengharamkan kebohongan, kecurangan, najasy menjual atas penjualan orang lain, menimbun, dan perilaku buruk lainnya, yang sering menyertai kegiatan ekonomi. Dimana Umar mengawasi kegiatan ekonomi untuk mengukuhkan kebersihannya dari pelaku yang buruk dan mencegahnya dengan keras. Dalil yang menunjukkan hal ini banyak sekali, yang sebagiannya akan disebutkan ketika membicarakan tentang pengawasan kegiatan ekonomi dalam pertama dari bab ketiga.
- seseorang bersaksi tentang kebaikan dan keadilan disisi Umar, maka Umar ingin mengukuhkan pengenalan saksi terhadap orang yang dipersaksikannya, dengan menyampaikan kepadanya beberapa pertanyaan, yang salah satunya adalah, “Apakah muamalahmua dengan dinar dan dirham yang dianggap wara? Atsar ini memberikan pengertian bahwa Umar menjadikannya keterikatan dengan akhlak mulia dalam muamalah ekonomi sebagai salah satu tolok ukur keistiqomahan seseorang dan kewaraannya.
- seseorang dari kabilah juhainah membeli beberapa hewan kendaraan dari manusia dan berlebihan didalamnya, sehingga hutangnya bertumpuk dan jatuh pailit. Lalu dia mengadukan perkara ini kepada Umar. Maka, Umar naikmimbar seraya memanjatkan puji dan sanjungan kepada Alloh kemudian berkata, “Ingatlah! Janganlah shalat dan puasanya seseorang memperdayakanmu, tapi lihatlah kebenarannya jika dia berkata, amanhnya jika dipercaya, dan waranya jika dia kaya. Lalu Umar melanjutkan, “Ingatlah, bhwa Usaifa –Usaifa adalah Juhainah- sudah cukup ridha dengan agamanya dan amanhnya jika dikatakan, “Dia telah haji”. Dalam atsar ini, Umar juga menjadikan komitmen dengan akhlak mulia dalam melaksanakan aktivitas perekonomian sebagai tolok ukur yang hakiki dalam penilaian, dan mengingkari akhlak buruk orang tersebut dalam muamalah perekonomiannya. Dimana orang tersebut “buruk dalam muamalah dagangnya dengan kaum muslimin, yaitu dengan memahalkan harganya kepada mereka, mengeksploitasi kesempitan ekonomi mereka, dan menunda dalam melaksanakn hak, sehingga Alloh menghapuskan keberkahan dari hartanya, dan ia pailit dan terlilit hutang.
- Umar melarang sebagian kegiatan ekonomi dikarenakan dampak sosialnya yang buruk. Sebagai contohnya, bahwa Umar memberikan batasan-batasan penjualan budak pada saat itu sangat laku dan menguntungkan (mungkin sekarang system outsourcing kali ya?-pen) dimana budak didatangkan dari pasar luar ke pasar jazirah Arab untuk dijual kepasar permanent dan musiman. Banyaknya permintaan budak ini adalah karena dibutuhkannya pekerjaan mereka dan andil mereka dalam produksi. Dalam hal inni, Umar membuat pedoman etika dalam perdagangan budak, dan sebagai orang pertama yang melarang menjual ummul walad, karena dampak sosialnya yang buruk, yang tercermin dalam pemisahan antara ibu dan anaknya, ketidaktenangan keluarga, pemutusan kerabat, dan lain-lain. Di antara riwayat yang berkaitan dengan hal ini, Umar mendengar seorang anak perempuan menangis ketika melihat ibunya dijual. Maka, Umar memanggil kaum muhajirin dan anshor, lalu menyampaikan pembicaraan kepada mereka seraya mengatakan, “Apakah kamu mengetahui diantar yang disampaikan Nabi Muhammad tentang larangan pemutusan keluarga? “Tidak”, jawab mereka, ia berkata, “Sesungguhnya pemtusan keluarga telah bererdar diantara kamu”. Lalu beliau membaca ayat:
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?(Muhammad:22) - Diantara kaidah yang penting adalah, “Larangan melakukan perbuatan apa pun yang mendatangkan mudharat kepada orang lain”. Kaidah ini mendapat perhatian dalam Fikih Ekonomi Umar bin Khatab. Diantara bukti yang menunjukkan demikian itu adalah riwayat yang mengatakan bahwa Nafi’bin Harits Ats-Tsaqafi berkata kepada Umar, “Wahai Amirul mukminin, berikanlah kepadaku sepuluh petak tanah untuk kudaku di bashrah; karena aku beternak kuda dan menjadikannya kendaraan perang”. Maka Umar menulis surat kepada Abu Musa, “Sesungguhnya Nafi’bin Harits meminta kepadaku sepuluh petak tanah yang tidak merugikan orang muslim dan mu’ahad (kafir dzimmi), tidak memutuskan sumber air atau jalan, dan tidak menjadi milik orang. Lalu putuskanlah sepuluh petak tanah tersebut kepadnya.”Maka mereka memperhatikan, dan ternyata sebagian petak tanah tersebut merugikannya, maka tidak diberikan kepadanya. (Fikih Ekonomi Umar bin Khatab, Dr jaribah bin Ahmad Al-Haritsi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar