Rabu, 21 Mei 2008

Fungsi Uang Menurut Imam Al-Ghazali

Uang merupakan salah satu hal yang paling terpenting dalam dunia ekonomi. Tanpa adanya uang maka perekonomian akan terganggu. Uang merupakan suatu nilai dari suatu barang.

Teori-teori mengenai uang sangat banyak sekali yang dikeluarkan oleh para ahli ekonom baik dari Islam maupun barat. Hal yang menarik dari teori uang yang dikeluarkan oleh para ahli ekonom islam adalah adanya unsur-unsur ketuhanan dalam teorinya. Kita dapat mengambil salah satu contoh, yaitu dari Imam Al-ghazali. Beliau mengatakan :

“Sesungguhnya Alloh SWT telah menciptakan Dirham dan Dinar supaya menjadi pemutus dalam semua keadaan. Diukur dengannya harga-harga. Seandainya tidak ada mata uang, niscaya muamalah akan terhalang. Sebab, tidak tahu bagaimana membeli baju dengan kunyit, membeli binatang dengan makanan. Karena sesungguhnya tidak ada keserasian di antara keduanya. Dan keduanya sama dalam ruh harta. Dan timbangan ruh keduanya adalah kontan. Maka barangsiapa yang menimbun keduanya, maka ia sperti yang memenjarakan hakim diantara hakim-hakim umat Islam sehingga terjadi kevakuman hukum. Dan barang siapa yang membuat wadah dari keduanya (dirham dan dinar), maka ia seperti orang yang memanfaatkan hakim untuk menenun dan bertani, yang bisa dilakukan setiap orang, sehingga hilanglah hukum. Hal ini lebih berat daripada memnjarakannya.
Dan barangsiapa yang menumbuhkembangkan keduanya dan menjadikan keduanya sebagai tujuan perdagangannya, dengan menukarkan antara yang baik dan yang buruk dari keduanya, maka ia seperti orang yang melalaikan hakim dari hukum. Kemudian dia menjadikannyatunduk terhadap dirinya untuk mengumpulkan kayu baker baginya, menyapunya, dan mengupayakan makanan pokok baginya. Dan semua itu merupakan perbuatan aniaya dan mengubah hukum alloh Aza wa Jalla atas makhluk-Nya dan hamba-Nya, dan juga memusuhi Alloh SWT secara tidak adil.
Dan barangsiapa yang dengan cahaya nuraninya tidak bisa menyibak rahasia-rahasia ini, maka dia hanya mengetahui syariat dalam bentuknya, bukan maknanya. Dan dikatakan kepadanya, dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Alloh SWT, maka beri tahukanlah kepada mereka, (bahwamereka mendapat) siksa yang pedih. Sampai pada firmannya…(akibat dari) apa yang kamu simpan”(QS9:34-35) (Kitab Al-arbain fi Ushul Ad-din)

Dalam kitabnya ini, Imam al0ghazali sangat tegas sekali dalam mengutarakan mengenai fungsi dari uang. Dari tulisan beliau ini dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Alloh menciptakan uang sebagai alat tukar.


2. Dilarang untuk menimbun uang untuk keperluan yang tidak disyariatkan karena dapat mengganggu perekonomian negara dan menyesengsarakan rakyat.


3. Kedudukan antara harta dengan harta yang ruhnya sama yaitu sebagai alat pemuas kebutuhan sangat sulit untuk dijadikan patokan.


4. Dilarang memperjualbelikan uang yang bertujuan untuk mengamil keuntungan karena hal itu mengakibatkan hilangnya fungsi pokok uang itu sendiri.


5. Dilarang untuk menumbuhkembangkan (praktek riba) uang karena hal tersebut menyebabkan nilai uang jadi jatuh nilainya.


Alloh SWT sangat keras hukumnya bagi mereka yang melakukan hal tersebut.
Imam Al-Ghazali merupakan seorang sangat tajam dan analisanya. Membandingkan apa yang di tulis oleh Imam Al-ghazali dengan apa yang terjadi dalam dunia perekonomian dunia pada saat ini secara umum dan perekonomian Indonesia secara khususnya sangatlah tepat dan sesuai dengan tulisan dari Imam Alghazali tersebut.

Pada era abad ke-21 ini yang sedang popular adalah praktek riba perbankan dan bisnis index saham. Kedua hal tersebut dikatakan oleh Imam Al-Gazali adalah menumbuhkembangkan keduanya yang mana dikatakan mengubah hukum Alloh SWT.

Dan mengenai transaksi Index ini diibaratkan seperti membuat wadah dari keduanya, yang menyebabkan hilangnya hukum yang menyebabkan kevakuman hukum dan hal itu lebih berat daripada memenjarakannya. Wallohu alam.

Prinsip Akhlak dalam Berbisnis

Seorang produsen yang muslim tidak boleh menganggap cukup hanya karena produksinya halal, tapi dia harus mencermati bahwa sarana dan cara produksinya juga mubah; sebagaimana dia juga harus menjauhi aktivitas produksi yang berdampak buruk terhadap masyarakat, meskipun pada dasarnya mubah.
Sesungguhnya prinsip akhlak mengharuskan keterikatan seorang produsen muslim dengan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk yang membahayakan disebabkan proses produksi, sepeti kebohongan, kecurangan, merugikan orang lain, dan lain-lain.
Sedangkan kajian-kajian ekonomi konvensional tidak memperhatikan korelasi akhlak dan ekonomi. Nampaknya, bahwa diantara sebab terpenting ketertelanjangan ekonomi dari prinsip akhlak adalah pandangan eropa dalam memisahkan agama-yang merupakan sumber akhlak- dari segala bidang kehidupan (sekularisme), termasuk dalam bidang ekonomi. Sebab mereka beranggapan bahwa ilmu ekonomi tidak akan tegak selama belum berpisah sepenuhnya dari nilai-nilai akhlak.
Karena semakin besarnya keburukan dan mudharat akibat pemisahan elemen-elemen akhlak dan social dari kehidupan perekonomian, maka muncullah suara-suara di barat yang menyerukan pentingnya factor-faktor (etika) tersebut dan mengaitkannya dengan elemen-elemen ekonomi. Padahal masalah yang masih dalam perdebatan dalam ekonomi konvensional ini adalah suatu yang sudah pasti dalam Islam sejak empat belas abad yang silam. Dimana masalah iini merupakan aksiomatik yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan akhlak merupakan asas bagi setiap hukum, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya.
Seseunguhnya Umar Radiyallahu anhu sangat memperhatikan korelasi antara kegiatan ekonomi dan akhlak mulia. Bahkan menjadikannya sebagai bukti kebenaran agama pelakunya. Sebagaimana Umar juga mengantisipasi dan mencegah terjadinya akhlak buruk yang sering menyertai kegiatan ekonomi. Berikut beberapa atsar yang menunjukkan hal tersebut:

  1. Telah dimaklumi bahwa islam mengharamkan kebohongan, kecurangan, najasy menjual atas penjualan orang lain, menimbun, dan perilaku buruk lainnya, yang sering menyertai kegiatan ekonomi. Dimana Umar mengawasi kegiatan ekonomi untuk mengukuhkan kebersihannya dari pelaku yang buruk dan mencegahnya dengan keras. Dalil yang menunjukkan hal ini banyak sekali, yang sebagiannya akan disebutkan ketika membicarakan tentang pengawasan kegiatan ekonomi dalam pertama dari bab ketiga.
  2. seseorang bersaksi tentang kebaikan dan keadilan disisi Umar, maka Umar ingin mengukuhkan pengenalan saksi terhadap orang yang dipersaksikannya, dengan menyampaikan kepadanya beberapa pertanyaan, yang salah satunya adalah, “Apakah muamalahmua dengan dinar dan dirham yang dianggap wara? Atsar ini memberikan pengertian bahwa Umar menjadikannya keterikatan dengan akhlak mulia dalam muamalah ekonomi sebagai salah satu tolok ukur keistiqomahan seseorang dan kewaraannya.
  3. seseorang dari kabilah juhainah membeli beberapa hewan kendaraan dari manusia dan berlebihan didalamnya, sehingga hutangnya bertumpuk dan jatuh pailit. Lalu dia mengadukan perkara ini kepada Umar. Maka, Umar naikmimbar seraya memanjatkan puji dan sanjungan kepada Alloh kemudian berkata, “Ingatlah! Janganlah shalat dan puasanya seseorang memperdayakanmu, tapi lihatlah kebenarannya jika dia berkata, amanhnya jika dipercaya, dan waranya jika dia kaya. Lalu Umar melanjutkan, “Ingatlah, bhwa Usaifa –Usaifa adalah Juhainah- sudah cukup ridha dengan agamanya dan amanhnya jika dikatakan, “Dia telah haji”. Dalam atsar ini, Umar juga menjadikan komitmen dengan akhlak mulia dalam melaksanakan aktivitas perekonomian sebagai tolok ukur yang hakiki dalam penilaian, dan mengingkari akhlak buruk orang tersebut dalam muamalah perekonomiannya. Dimana orang tersebut “buruk dalam muamalah dagangnya dengan kaum muslimin, yaitu dengan memahalkan harganya kepada mereka, mengeksploitasi kesempitan ekonomi mereka, dan menunda dalam melaksanakn hak, sehingga Alloh menghapuskan keberkahan dari hartanya, dan ia pailit dan terlilit hutang.
  4. Umar melarang sebagian kegiatan ekonomi dikarenakan dampak sosialnya yang buruk. Sebagai contohnya, bahwa Umar memberikan batasan-batasan penjualan budak pada saat itu sangat laku dan menguntungkan (mungkin sekarang system outsourcing kali ya?-pen) dimana budak didatangkan dari pasar luar ke pasar jazirah Arab untuk dijual kepasar permanent dan musiman. Banyaknya permintaan budak ini adalah karena dibutuhkannya pekerjaan mereka dan andil mereka dalam produksi. Dalam hal inni, Umar membuat pedoman etika dalam perdagangan budak, dan sebagai orang pertama yang melarang menjual ummul walad, karena dampak sosialnya yang buruk, yang tercermin dalam pemisahan antara ibu dan anaknya, ketidaktenangan keluarga, pemutusan kerabat, dan lain-lain. Di antara riwayat yang berkaitan dengan hal ini, Umar mendengar seorang anak perempuan menangis ketika melihat ibunya dijual. Maka, Umar memanggil kaum muhajirin dan anshor, lalu menyampaikan pembicaraan kepada mereka seraya mengatakan, “Apakah kamu mengetahui diantar yang disampaikan Nabi Muhammad tentang larangan pemutusan keluarga? “Tidak”, jawab mereka, ia berkata, “Sesungguhnya pemtusan keluarga telah bererdar diantara kamu”. Lalu beliau membaca ayat:
    Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?(Muhammad:22)
  5. Diantara kaidah yang penting adalah, “Larangan melakukan perbuatan apa pun yang mendatangkan mudharat kepada orang lain”. Kaidah ini mendapat perhatian dalam Fikih Ekonomi Umar bin Khatab. Diantara bukti yang menunjukkan demikian itu adalah riwayat yang mengatakan bahwa Nafi’bin Harits Ats-Tsaqafi berkata kepada Umar, “Wahai Amirul mukminin, berikanlah kepadaku sepuluh petak tanah untuk kudaku di bashrah; karena aku beternak kuda dan menjadikannya kendaraan perang”. Maka Umar menulis surat kepada Abu Musa, “Sesungguhnya Nafi’bin Harits meminta kepadaku sepuluh petak tanah yang tidak merugikan orang muslim dan mu’ahad (kafir dzimmi), tidak memutuskan sumber air atau jalan, dan tidak menjadi milik orang. Lalu putuskanlah sepuluh petak tanah tersebut kepadnya.”Maka mereka memperhatikan, dan ternyata sebagian petak tanah tersebut merugikannya, maka tidak diberikan kepadanya. (Fikih Ekonomi Umar bin Khatab, Dr jaribah bin Ahmad Al-Haritsi)